Surabaya - Sejumlah saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Nganjuk mengakui tak pernah mendapat perintah maupun permintaan langsung dari Bupati nonaktif Nganjuk Novi Rahman Hidhayat terkait uang suap jual beli jabatan di lingkungan Pemkab Nganjuk. Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan dari 8 saksi.
8 saksi yang dihadirkan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Juanda Surabaya itu antara lain, sejumlah kades, dan sejumlah pegawai di lingkungan Pemkab Nganjuk. Diantaranya, Supriyadi Sekcam Tanjung Anom, M Muhtari Protokol Pemkab Nganjuk, Sopi Kadindik Pemkab Nganjuk, Susilo Priambodo Humas dan Protokol Pemkab Nganjuk.
Selain itu juga ada Agus Hari Widodo Kabid Pemgadaan Pemkab Nganjuk, Supriyadi Kasi Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan Tanjung Anom yang kini menjabat Sekcam di kecamatan yang sama. Lalu ada juga Kades Kepanjen Sugeng Purnomo, dan lain-lain.
Dalam keterangannya, beberapa saksi mengakui telah menyetorkan sejumlah uang karena masalah jabatan. Seperti diungkapkan oleh saksi Supriyadi, sebelum menjadi Sekcam, dirinya merupakan seorang Kasi atau kepala seksi di kantor Kecamatan Tanjung Anom.
Saat itu lah, dirinya mengaku mendapatkan pemberitahuan promosi dari camatnya Edi Srijanto. "Saya diberitahu bahwa saya diusulkan menjadi Sekcam oleh pak Camat. Itu promosi," ujarnya, Senin (4/10).
Dalam prosesnya, sang camat ternyata meminta sejumpah uang dengan dalih untuk diberikan pada "bapaknya". Saat dipertegas oleh Ketua Majelis Hakim I Ketut Suarta siapa "bapak" yang dimaksud?, meski tak bisa menyebutkan pasti, namun ia menyebut jika kebiasaan sebutan bapak itu ditujukan pada Bupati Novi.
"Dimintai uang Rp50 juta untuk dikasihkan ke bapake. Biasanya bapake sebutan bupati," tukasnya.
Kesaksian senada disampaikan oleh Sugeng Purnomo, Kades Kepanjen. Ia mengaku pernah mengusulkan adanya pergantian camat di kecamatannya. Usulnya ini rupanya juga diamini oleh kades lainnya, yang merasa tak cocok dengan camat definitif saat itu. Usulan itu pun, disampaikannya pada ajudan Bupati Novi, M Izza Muhtadin. Oleh sang ajudan, ia pun diberikan waktu untuk mengusulkan sebuah nama.
"Karena saya tak bisa mengusulkan, saya minta pada paguyuban Kades untuk turut mengusulkan. Oleh paguyuban, diarahkan pada salah seorang camat. Namun, camat itu menolak dan mengusulkan nama lain. Nama ini lah yang kita setorkan ke ajudan Bupati," tegasnya.
Saat itu lah, ia juga mengaku pernah ditelepon oleh sang ajudan agar menyediakan sesuatu untuk "bapaknya". Meski tak secara tegas berapa nominal yang diminta dan untuk bapak siapa yang dimaksud, ia pun tak berani bertanya lebih lanjut.
"Saya cuma ditanya untuk bapak e mana. Karena saya tidak mengerti, saya diarahkan pada Dupriyono, nama yang diusulkan sebagai camat. Katanya, nanti ia (Dupriyono) akan mengerti," ujarnya menirukan.
Menanggapi hal itu, kuasa hukum Bupati Tis'ad Afriyandi lalu mempertanyakan semua saksi, apakah pernah mendapat perintah atau permintaan maupun memberikan secara langsung uang yang dimaksud. Semua saksi menjawab tidak pernah.
"Tidak pernah (secara langsung)," jawab semua saksi secara bergantian.
Usai sidang Tis'at mengatakan, sejak awal saksi saksi yang dihadirkan oleh JPU, tidak ada satu pun yang mengaku mendapat perintah, atau permintaan langsung dari Bupati Novi soal uang jual beli jabatan. Meski demikian, ia tidak mau menanggapi soal uang suap yang melewati sang ajudan maupun pihak ketiga lainnya.
"Dari saksi hari ini 8 orang dan saksi kemarin 5 orang, tidak ada satu pun yang pernah mendapat permintaan atau perintah langsung dari bupati terkait uang itu. Soal yang lain (lewat Ajudan mapun para camat) saya tidak mau menanggapi," tegasnya.
Ia pun menegaskan, dengan keterangan para saksi itu, semakin menegaskan bahwa JPU tidak dapat membuktikan keterlibatan Bupati Novi dalam kasus ini. "13 saksi itu tidak bisa membuktikan keterlibatan Bupati Novi dalam kasus ini," tandasnya. (sal/red)