Surabaya - Kualitas kesaksian yang buruk dianggap dapat merusak proses persidangan atau penegakkan hukum maupun pengungkapan kebenaran perkara. Oleh karenanya, hakim pun disebut dapat mengabaikannya dan menyatakan dakwaan tidak terbukti.
Pernyataan ini disampaikan oleh ahli psikologi forensik yang juga anggota Pusat Kajian Pemasyarakatan Poltekip Kementerian Hukum dan HAM, Reza Indragiri di Pengadilan Negeri Surabaya, Jumat (30/9). Ia menjadi ahli dalam perkara dugaan asusila dengan terdakwa Moch Subechi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi.
Ditemui usai sidang, Reza menyatakan, ada perbedaan antara penyikapan hukum dengan penyikapan psikologi forensik terkait kualitas keterangan saksi. Dalam hukum misalnya, kesaksian mata atau keterangan saksi dianggap sangat penting.
"Salah satu alat bukti yang sangat diandalkan adalah keterangan saksi. Tapi psikologi forensik menyanggah itu. Sampai-sampai psikologi forensik menyatakan, barang yang merusak proses sidang atau penegakan hukum atau pengungkapan kebenaran justru keterangan saksi. Saya percaya hasil riset psikologi forensik," katanya.
Ia menjelaskan, dirinya akan bersikap skeptis apabila sebuah proses penegakkan hukum terlalu mengandalkan keterangan saksi. Ia beralasan, buruknya kualitas keterangan saksi, dapat berakibat dakwaan batal demi hukum.
"Proses penegakan hukum yang terlalu mengandalkan keterangan saksi, saya memilih untuk menaruh skeptisisme tingkat tinggi. Sebab (kualitas saksi bisa menyebabkan) batal demi hukum, dakwaan tidak terbukti. Karena keterangan saksi sudah disampaikan tapi tidak bisa meyakinkan majelis karena validitas (saksi) sangat buruk," tambahnya.
Atas dasar itu juga, tambahnya, jika hakim meyakini keterangan saksi tidak kuat maka dalam vonis nantinya keterangan saksi dapat diabaikan sebagai alat bukti. Alhasil, Reza pun mewanti-wanti di ruang sidang tentang proses penegakan hukum yang menurutnya terlalu mengandalkan keterangan saksi.
"Kalau majelis teryakinkan dengan keterangan saya (ahli forensik), maka boleh jadi hakim menganggap keterangan saksi tidak kuat bisa diabaikan, hakim akan mengabaikan alat bukti itu," ujarnya.
Ia menjelaskan, bahwa dalam UU TPKS, ada pasal yang menyatakan terdapat tiga alat bukti. Yakni 1 saksi atau korban, 1 alat bukti lain, dan keyakinan hakim.
"Pertama, tadi saya katakan keterangan saksi termasuk korban validitasnya sangat meragukan, berarti keyakinan hakim (dapat) tumbang, berarti tinggal 1 alat bukti lain, hadirkan ke persidangan ada tidak bahwa sudah terjadi kejahatan seksual itu, kalau tidak ada ya maaf kata, hakim dengan berat hati harus mengatakan tidak terbukti dakwaannya," tuturnya.
Selain itu, lanjut Reza, keterangan saksi yang rapuh, seyogyanya tidak bisa meyakinkan hakim. Pun dengan tidak adanya alat bukti lain yang meyakinkan terdakwa bersalah, seperti halnya visum. Oleh karena itu, Reza menerangkan bila visum adalah alat bukti lain yang bisa meyakinkan hakim dan memperkuat dakwaan.
"Silakan diajukan hasil visumnya, meyakinkan atau tidak. Kalau meragukan, 3 hal yang dibutuhkan sesuai UU TPKS ya tidak tersedia," katanya.
Selain itu, ihwal keterangan yang disampaikan setiap saksi yang dihadirkan, menurutnya hal tersebut rapuh. Artinya, mustahil bisa meyakinkan hakim sebelum menjatuhkan putusan.
"Kita bicara per individu, baik saksi A, B, C dan seterusnya, baik itu pengakuan korban secara umum psikologi forensik sampai pada sebuah kesimpulan bahwa keterangan yang mengandalkan daya ingat manusia itu rapuh serapuh-rapuhnya, itu kata psikologi forensik," sambungnya.
Kendati demikian, ia meminta khalayak untuk tidak salah kaprah dengan pernyataan yang ia sampaikan. Meski, seolah kontra atau tidak berpihak ke korban.
"Saya berulang kali katakan, kalau ada korban kejahatan seksual, maka seluruh keperluannya harus terpenuhi. Tapi, agar bisa definitif, punya status korban, tentu saja proses penegakan hukumnya harus benar," paparnya.
Sementara itu, Ketua Tim Penasihat Hukum MSAT, Gede Pasek Suardika menyatakan, keterangan Reza Indragiri sebagai ahli psikologi menjadi sangat penting. Sebab, sesuai aspek psikologi yang berperspektif hukum itu perlu dihadirkan untuk memotret dan mengetahui kasus ini secara lebih jernih.
"Khususnya, munculnya saksi-saksi yang tidak terkualifikasi sebagai saksi menurut KUHAP. Sementara, beliau sendiri mengatakan kalau jangka waktu yang panjang, distorsi keterangan saksi, menjadi sangat tinggi sekali," kata dia.
Selain itu, Gede menyoroti data penelitian yang ia peroleh dari Amerika Serikat, yakni 46.000 atau sekitar 2 sampai 10% putusan pengadilan adalah untuk orang yang tidak bersalah. Bahkan, harus menjalani hukuman akibat keterangan saksi yang dikondisikan, tidak valid, dan alat bukti yang tidak cocok 1 sama lain.
"Mereka di AS aja sampai 46.000, mencapai 2 sampai 10% per tahun. Maka, dapat dibayangkan, dengan kondisi di Indonesia, kita meyakini kalau survei dilakukan, Mas Bechi masuk di angka itu. Jadi, ditahan untuk perbuatan yang gak pernah dilakukan, hanya karena keterangan saksi yang dikondisikan. Maka, keterangan saksi bisa seragam, tapi di balik itu pasti ada perbedaan, karena daya tangkap masing-masing beda," ungkapnya.
Seharusnya, lanjut Gede, hakim memiliki keyakinan tersendiri. Artinya, tidak menjadikan keterangan saksi jadi yang utama.
"Kalau tidak divalidasi dengan alat bukti yang lain, problemnya masih adakah keyakinan hakim yang terbangun untuk menegakkan keadilan? Kita coba menghadirkan ahli untuk memberi perspektif lebih luas di kasus ini," ujar mantan pewarta surat kabar harian lokal di Surabaya itu.
Tak hanya itu, Gede menegaskan, keterangan dari Reza juga menyoroti tentang KUHP, bukan TPKS yang baru disahkan. Menurutnya, keterangan ahli tersebut sangat normatif.
"Harus ada validitas saksi dan alat bukti lain yang betul-betul sahih. Karena akan banyak sekali false testimoni istilahnya. Sebab, ada 2 hal yang penting, yakni orang sengaja berbohong untuk maksud-maksud tertentu atau berbohong karena ada iming-iming atau ancaman," tutur dia.
Sedangkan, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Tengku Firdaus menuturkan, keterangan ahli dianggap cukup mencerahkan pihaknya. Sebab, ahli yang dihadirkan pihak pengacara itu, dianggap hanya menerangkan berbagai hal yang berkaitan dengan teori-teori saja.
"Ada pencerahan dari ahli ini terkait dengan psikologi korban, psikologi pelaku terkait tindak pidana yang terjadi, begitu," tandasnya. (Sal/red)