Surabaya - Ahli Pidana, Akhiar Salmi SH MH dari Universitas Indonesia dihadirkan oleh Ketua Tim Penasehat Hukum terdakwa Appe Hamongan Hutauruk SH dalam sidang sidang lanjutan 3 (tiga) terdakwa yaitu Minggus Umboh, Rizky Puguh Wibowo, dan Zainal Huda Purnama yang tersandung dugaan perkara penipuan investasi berkedok robot trading Viral Blast Global di pengadilan negeri Surabaya, Kamis (27/10/2022).
Setelah membuka sidang terbuka untuk umum, Hakim Ketua DR Sutarno SH MH mempersilahkan Ketua Tim Penasehat Hukum terdakwa, yakni Appe Hamongan Hutauruk SH untuk bertanya lebih dulu kepada Ahli Pidana.
"Silahkan Penasehat Hukum bertanya pada Ahli," ucap Hakim Ketua DR Sutarno SH MH.
PH Appe Hamongan Hutauruk SH bertanya pada Ahli, jika ada informasi diduga ada tindak pidana, namun fakta yuridisnya prematur dan informasinya tidak valid, apa konsekuensinya ?
"Konsekuensinya tidak sah dan batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada," jawab Ahli.
Kembali PH Appe SH bertanya ada Ahli, adanya laporan polisi atas dasar unggahan yang diposting di media sosial (medsos) dan penggunggah belum diperiksa, bagaimana pendapat Ahli ?
"Laporan polisi atas dasar unggahan, sulit dicari kebenarannya. Dalam hukum pidana, yang dicari adalah kebenaran materiil," jawab Ahli.
Menurut Ahli, penerapan pasal dalam dakwaan, tidak boleh melenceng dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pasal yang dituduhkan pada tersangka, tetapi tidak ada dalam BAP, tidak usah dipakai dan dikesampingkan.
"Penerapan pasal oleh Jaksa tidak boleh berbeda dari BAP. Seharusnya BAP dijadikan dasar Jaksa untuk membuat surat dakwaan. Agar ada kepastian hukum dan ketertiban hukum," ujar Ahli.
Namun demikian, keputusan terhadap perkara yang disidangkan di Pengadilan, sepenuhnya tergantung pada keyakinan Majelis Hakim.
PH Appe SH bertanya pada Ahli, apakah Pengadilan Jakarta Selatan (Jaksel) bisa menetapkan penyitaan atas semua barang bukti (BB), padahal BB-nya di SUrabaya, Jakarta dan kota kota lainnya.
"Nggak bisa. Sesuai pasal 38 KUHAP, hal itu bertentangan dengan hukum," jawab Ahli singkat.
Dalam pasal 105 Undang-Undang Perdagangan disebutkan pelaku usaha dalam pendistribusian barang atau jasa, bisa dipidana 10 tahun dan denda Rp 10 miliar, kalau tidak terbukti bagaimana ?
"Kalau tidak terbukti menerapkan sistem skema piramida, harus dibebaskan. Prinsipnya, subyek hukum yang berbuat tindak pidana, yang bisa dimintai pertanggungjawaban," jawab Ahli.
Ahli mengatakan, bahwa aktivitas bisnis digital, robot trading tidak tahu ada aturan khusus yang mengatur bisnis tersebut. "Kalau belum ada aturannya, tentu tidak bisa dipersangkakan. Undang-Undang yang mengaturnya, harus ada dulu," cetus Ahli.
Dalam kesempatan, Ahli menjelaskan, bahwa Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bisa dikenakan pada terdakwa, jika ada predicate crime (pidana awal). Jika tidak ada predicate crima, gugur. Kalau hanya ada aliran uang masuk dan dijustifikasi hasil kejahatan, tidak bisa. Yang dilarang adalah uang dari hasil kejahatan.
Kalau aset terdakwa bukan hasil dari kejahatan, harus dikembalikan pada yang bersangkutan.
Giliran Jaksa Penuntut Umum (JPU) Darwis SH, dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya bertanya pada Ahli, apakah Jaksa bisa menambahkan pasal baru dalam surat dakwaan (di luar BAP-red) ?
"Nggak bisa. Hasil dari BAP adalah pondasi. Nggak boleh buat dakwaan dan menambahkan pasal. Intinya, Jaksa tidak boleh tambah-tambah pasal. Jaksa jangan menambahkan pasal. Jangan niatkan hukum seseorang. Sekalipun ada SR Kejagung boleh tambahkan pasal. Tetap tidak boleh tambahkan pasal," jawab ahli.
Setelah Ahli memberikan pendapatnya dan dirasakan sudah cukup, maka Hakim Ketua DR Sutarno SH MH mengatakan, sidang akan dilanjutkan pada hari Rabu, 2 Nopember 2022 dengan agenda pemeriksaan terdakwa.
Sehabis sidang, PH Appe Hamongan Hutauruk SH mengungkapkan, Ahli menyebut bahwa penerapan pasal 378 KUHP itu dipaksakan Jaksa, yang tidak diperiksa tersangka dan saksi , maka pasal itu tidak boleh diterapkan.
"Karena BAP adalah dasar bagi Penuntut Umum untuk menyusun surat dakwaan. Tidak melompat dan tidak dipertanyakan pada tersangksa dan saksi, tiba tiba di surat dakwaan itu ada. Terdakwa dikenakan dua pasal yakni pasal alternatif 378 KUHP dan pasal 105 Undang-Undang Perdagangan. Begitu pula surat penyitaan diterbitkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, padahal seharusnya menurut KUHAP dan Ahli, penyitaan itu harus dilakukan oleh Pengadilan, di mana barang bukti itu akan disita," ungkap PH Appe SH.
Oleh karena itu, lanjut dia, besar kemungkinan apa yang dilakukan penyidik, diteruskan oleh Jaksa Penuntut Umum itu prematur dan melanggar asas pidana. Ketika ada kesalahan satu prosedur dalam surat dakwaan membawa konsekusensi keseluruhan dakwaan menjadi cacat hukum. Dalam konteks penyusunan surat dakwaan harus disusun secara jelas dan cermat.
"Dengan membuat surat penyitaan keliru, penerapan pasal oleh Jaksa (tidak tepat), membawa konsekuensi bangunan hukum yang dikonstruksikan surat dakwaan jaksa, dan aturan robot trading itu belum ada," katanya. (Sal/red)