SURABAYA - Sorotan terhadap Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai dengan sistem kerja bertendensi otoriter terus menjadi perbincangan publik. Sorotan itu kali pertama dilontarkan pengamat politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, yang kemudian viral dan menjadi perbincangan publik; dan dibantah oleh PSI Surabaya.
Airlangga Pribadi kemudian membeber kembali analisisnya soal tendensi PSI sebagai partai otoriter. “Sanggahan PSI atas pernyataan saya terkait otoritariannya serta jejak-jejak dan tendensi dktatorial di internal PSI dengan dalih berpijak pada aturan AD/ART, sehingga menyimpulkan bahwa statemen saya menyesatkan, memperlihatkan bahwa mereka tidak memahami konsepsi-konsepsi dasar dalam ilmu politik yang digunakan sebagai perangkat memahami maupun berkiprah di panggung demokrasi Indonesia,” ujar Airlangga kepada media, Senin (11/9/2023).
Dikutip media dari Anggaran Dasar PSI, pada Bab VI disebutkan bahwa “Dewan Pembina sebagai pemegang otoritas tertinggi Partai”. Kemudian pada Bab VII, di pasal 16 ayat (5) secara jelas disebutkan “keanggotaan Dewan Pembina berkedudukan hukum tetap dan permanen seumur hidup, kecuali jika yang bersangkutan mengundurkan diri atau meninggal dunia”. Lalu pada Pasal 16 ayat (4) disebutkan “Dewan Pembina dapat merangkap jabatan Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, Ketua Dewan Pertimbangan Nasional, Ketua Dewan Pakar Nasional dan Dewan Pimpinan Pusat”. Dewan Pembina PSI juga dituliskan memiliki kewenangan untuk memutuskan, menyetujui, membatalkan seluruh kebijakan Partai di semua jenjang struktur Partai.
Saat ini, Ketua Dewan Pembina PSI dijabat oleh pengusaha Jeffrie Geovani, Wakil Ketua Dewan Pembina Grace Natalie, dan Sekretaris Dewan Pembina Raja Juli Antoni.
Airlangga Pribadi, yang merupakan doktor alumnus Murdoch University Australia, menjelaskan, analisisnya yang menyatakan PSI bertendensi otoriter adalah berawal dari kritik terhadap AD/ART. Mengacu pada AD/ART merupakan cara pandang ilmiah dengan menggunakan pendekatan kelembagaan dan kelembagaan baru atau political institutionalism atau new institutionalism.
“Dalam institusionalisasi politik, maka pijakan analisis memegang peran penting yaitu terkait proses pelembagaan yang di dalamnya ada regulasi, salah satunya adalah AD/ART sebagai aturan utama dari partai politik,” jelas Airlangga.
Dari kajian kelembagaan itulah, lanjut Airlangga, dapat diketahui bahwa ternyata Dewan Pembina PSI dapat menjadi apa saja sehingga bisa menganulir suara dari bawah. Selain itu, keanggotaan Dewan Pembina ditegaskan permanen seumur hidup kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri atau meninggal dunia. “Bukti di Anggaran Dasar itu memperlihatkan jejak-jejak diktatorial atau otoritarianisme pada tubuh PSI. Ini di Anggaran Dasar lho ya, bukan saya yang bilang. Jadi kok tidak mau disebut bertendensi otoriter?” ujarnya.
Dia menambahkan, yang juga dipertanyakan oleh publik adalah Dewan Pembina PSI yang dapat menjadi apa saja yang kemudian memberi ruang konstitusional partai untuk sangat membatasi posisi ketua umum partai guna menjalankan perannya dalam mengelola partai “Sehingga dari rujukan regulasi institusional, terbuka ruang kiprah ketua umum sangat dibatasi oleh peran tak terbatas dari Dewan Pembina. Konsekuensi terjauh dari posisi ini adalah Ketum PSI bisa tidak lebih sebagai alat atau “boneka” dari dewan pembina dalam internal PSI,” jelas Airlangga yang juga salah seorang penulis buku “Globalisasi dan Neoliberalisme: Pengaruh dan Dampaknya bagi Demokratisasi Indonesia”.
Lebih tepatnya dikatakan bahwa corak dasar kelembagaan dari PSI adalah oligarki, (dimana segelintir elite menguasai arah dan coraknya partai politik), arah otoritarianisme dari PSI mengarah bukan saja sekedar oligarki namun menjadi permanen oligarki, ketika seluruh dewan pembina yang ada didalamnya bersifat permanen. Dari situ kita melihat sama sekali tidak ada nafas demokrasi maupun republikanisme didalamnya.
Airlangga kemudian menganalisis, terkait dengan pijakan kelembagaan baru dalam PSI terutama antara regulasi dan lembaga dengan agensi, wacana, strategi dan adaptasi politik partai, corak ini juga membentuk kiprah politik PSI secara fundamental. Di mana ada “split personality” antara kesadaran wacana dan kesadaran praktik.
“Ketika PSI selalu menampilkan ke publik sebagai partai yang demokratis, pluralis dan egaliter, namun dalam kiprah politiknya mereka bungkam ketika ada wacana liar tiga periode mulai muncul. Hal ini karena wacana tersebut sejalan dengan corak dasar lembaga PSI yang otoritarian memiliki bibit-bibit diktatorial dan bercorak diktatorial permanen, meskipun berbeda dengan kemasan politik yang selama ini mereka tampilkan di publik,” kritik Airlangga. (Sal/red)