Tegas, Kesatria Airlangga Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Koordinator JAKA Teguh Prihandoko. (Red)
Koordinator JAKA Teguh Prihandoko. (Red)
banner 728x90

SURABAYA VIRAL - Jaringan Ksatria Airlangga (JAKA), sebagai jaringan alumnus Universitas Airlangga penolakan tegas terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, mantan Presiden Republik Indonesia.

"Dengan ini menyatakan penolakan tegas terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, mantan Presiden Republik Indonesia," kata Koordinator JAKA Teguh Prihandoko, Sabtu (8/11/2025).

Penolakan tersebut menurutnya bukan didasarkan pada kebencian pribadi, melainkan berdiri di atas penilaian rasional dan tanggung jawab moral.

Penilaian dimaksud pertama karena masa kelam Pelanggaran HAM dan Otoritarianisme. Soeharto memimpin pemerintahan yang ditandai dengan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis.

Peristiwa 1965-1966, kasus Tanjung Priok dan Lampung, Marsinah, Penculikan aktivis prodemokrasi 1997-1998, penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan Mei , serta pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan berserikat adalah catatan kelam yang belum pernah dipertanggungjawabkan secara hukum maupun moral.

"Pemberian gelar pahlawan kepada sosok yang berkaitan dengan rentetan kekerasan politik berarti melukai ingatan keluarga para korban dan mengabaikan prinsip keadilan sejarah," ujarnya.

Kedua karena telah melakukan paktik KKN yang terstruktur. Era kepemimpinan Soeharto menjadi simbol korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengakar dalam struktur birokrasi.

Berbagai lembaga internasional, laporan kajian ekonomi, serta proses hukum pasca kejatuhannya menunjukkan bahwa praktik korupsi tersebut mengakibatkan kerugian negara dalam skala luar biasa besar, menurunkan kualitas demokrasi, dan memperlebar jurang kemiskinan.

"Mengangkat tokoh yang identik dengan KKN sebagai pahlawan berarti memberikan legitimasi moral terhadap praktik korupsi, sesuatu yang bertentangan dengan nilai Pancasila dan cita-cita reformasi," ujarnya.

Ketiga keadilan sejarah untuk generasi mendatang. Gelar pahlawan bukan sekadar penghargaan individual, melainkan instrumen pendidikan historis bagi generasi bangsa.

Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan menyampaikan pesan keliru kepada anak muda bahwa kekuasaan yang korup dan sarat dengan praktek-praktek yang melanggar HAM bisa ditolerir.

"Karena itu kami menolak sejarah dipelintir demi kepentingan politik jangka pendek," tegasnya.

Keempat menjaga marwah reformasi dan demokrasi. Bangsa ini telah membayar mahal biaya transisi menuju demokrasi. Reformasi 1998 bukan peristiwa biasa; ia adalah puncak perjuangan rakyat untuk menuntut akhir dari kekuasaan yang korup dan memulihkan martabat warga negara.

Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti menghianati semangat reformasi, melemahkan perjuangan mahasiswa dan rakyat, serta membuka jalan normalisasi otoritarianisme.

Karena itu selain menolak gelar pahlawan nasional, pihaknya juga mendesak pemerintah dan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan untuk mempertimbangkan secara objektif jejak pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi pada masa kepemimpinannya.

"Selanjutnya mengajak masyarakat, akademisi, dan seluruh alumni UNAIR untuk bersuara dalam menjaga integritas sejarah dan nilai kemanusiaan. Kita menolak glorifikasi pelanggaran moral dan kemanusiaan, dan sejarah harus menjadi pelajaran, bukan alat pembenaran," pungkasnya. (Sal/red)

banner 300x250
banner 300x250