Front Pembebasan Rakyat Tolak Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

Presiden Soeharto. (Red)
Presiden Soeharto. (Red)
banner 728x90

SURABAYA VIRAL – Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali menuai penolakan.

Front Pembebasan Rakyat (FPR), komunitas demokrasi partisipatoris yang beranggotakan sejumlah aktivis gerakan reformasi 1998 dari berbagai kampus, menyatakan sikap tegas menolak rencana tersebut.

Mereka menilai bahwa pemberian gelar itu bukan hanya tidak tepat, tetapi juga berpotensi mengaburkan sejarah pelanggaran hak asasi manusia dan praktik korupsi yang terjadi selama Orde Baru.

Dalam press rilis yang diterima media ini, FPR menyampaikan bahwa gelar Pahlawan Nasional seharusnya hanya diberikan kepada figur yang memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan hak asasi rakyat.

Menurut mereka, masa kekuasaan Soeharto justru dibangun di atas prahara 1965, ditandai oleh pembungkaman kebebasan sipil, korupsi sistemik, serta kekerasan terstruktur terhadap masyarakat sipil dan lawan politik.

Agus Wiryono, salah satu anggota FPR alumnus UNESA, mengatakan bahwa sejarah tidak boleh dipoles demi kepentingan politik sesaat.

“Kami hidup dan menyaksikan sendiri bagaimana ruang demokrasi dicabut dari rakyat. Penangkapan tanpa proses hukum, pembredelan media, dan represi kampus adalah bagian nyata dari kehidupan di bawah pemerintahan Soeharto. Mengangkatnya menjadi Pahlawan Nasional sama saja menutupi luka dan rasa kehilangan para korban,” ujar Agus.

Senada dengan itu, Heru Krisdianto aktivis lulusan Unair, menegaskan bahwa pemberian gelar tersebut merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan reformasi.

“Tahun 1998 bukan sekadar peristiwa politik, tapi jeritan rakyat yang sudah tidak sanggup lagi menahan penindasan. Banyak kawan kami dipenjara, diculik, atau hilang hingga kini tak kembali. Gelar pahlawan itu tidak pantas untuk orang yang kekuasaannya berdiri di atas ketakutan,” kata Heru.

Sementara itu aktivis jebolan UK Petra, Onny Wiranda, menambahkan bahwa penghormatan terhadap sejarah harus dilakukan melalui keberanian mengakui fakta, bukan dengan melupakan dan memutihkan masa lalu yang kelam.

“Bukan soal dendam. Ini soal kebenaran dan rasa hormat kepada para korban. Kalau negara ingin memberi teladan, maka teladannya bukan mengangkat figur yang melanggar hak rakyat, tetapi menghormati mereka yang memperjuangkan keberanian, keadilan, dan kebebasan,” jelas Onny.

FPR menyerukan kepada pemerintah dan masyarakat luas untuk mempertimbangkan kembali rencana tersebut dengan mengingat nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan dalam Reformasi 1998.

Mereka menegaskan bahwa bangsa ini hanya bisa melangkah maju dengan cara berdamai dengan sejarah melalui pengakuan yang jujur, bukan dengan menghapus jejak penderitaan rakyat.

Dengan sikap ini, FPR berharap suara publik yang menginginkan keadilan sejarah tetap dijaga, sekaligus menjadi pengingat bahwa gelar pahlawan bukan sekadar gelar simbolik, melainkan tanggung jawab moral tentang siapa yang patut dikenang sebagai teladan bagi generasi masa depan.

FRONT PEMBEBASAN RAKYAT
Heru Krisdianto (Unair)
Agus Wiryono (Unesa)
Onny Wiranda (UK. Petra)
Dandik Katjasungkana (Unair)
Aldi Karmailis (Unair)
Andri Arianto (Unair)
Matius Eko Purwanto (UWM)
Eusebius Purwadi (Unair)
Opi Maharani Banong (STIESIA)
Andre Hapsara (UWM)
Didik Iskandar (UWKS)
Abdi Edison (Untag)
Didik Nurhadi (Unesa)
Achmad Hilmi (Unitomo)
Rinto M Siagian (Unitomo)
Ferry Irawan (Unitomo)
Nina Agustin (Unitomo)
Singgih Prayogo (Unitomo)
Mochamad Verie (UWK)
Moh Rouf (Unesa)
Mei Indarwanti (Unesa)
Yudhit Ciphardian (UK. Petra)
Dewa Made (UWKS)
Agatha Retnosari (ITS)
Triyana Damayanti (Unair)
Tita Sinta (UWKS)
Rosallyn (UWM)
Edwin Suryaatmaja (Unesa)
Pramono (Unipra)
Riyanto (Unesa)
Moch. Irvan (Unesa)
Winda (ITATS)
I Putu Agus Fitrian HK (Stiesia)
Leonardus Sugianto (Stiesia)

Michael Kusumosularso (ITATS). (Sal/red)

banner 300x250

Berita Terkait

banner 300x250