Surabaya Viral - Satu tahap menuju pelaksanaan eksekusi kepengurusan Gereja Bethany Indonesia (GBI), jalan Nginden Intan Timur I/29 Surabaya telah dilalui.
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya melalui surat bernomor W14-U1/14916/Hk.01/10/2019, berhasil menggelar Rapat Kordinasi (rakor) persiapan menjelang pelaksanaan eksekusi, Selasa (12/11/2019).
Rakor digelar di lantai 1 ruang pertemuan PN Surabaya ini, dihadiri oleh pihak-pihak berkompeten, salah satunya dukungan dari pihak keamanan dan TNI-Polri. Dari institusi TNI, hadir perwakilan dari Kodam V Brawijaya, sedangkan dari pihak kepolisian dari perwakilan dari Polrestabes dan Polsek Sukolilo Surabaya.
Berdasarkan pantauan wartawan, rakor diadakan sejak sekira pukul 10.00 WIB dan baru berakhir sekira pukul 11.00 WIB. Selain perwakilan aparat keamanan, juga hadir perwakilan dari birokrasi, Lurah dan Camat setempat.
Hal ini dibenarkan oleh juru bicara PN Surabaya, Martin Ginting. Saat dikonfirmasi mengatakan bahwa pelaksanaan rakor hari ini (Selasa, 12/11/2019) sudah digelar dan berjalan lancar.
"Hasil dari rakor hari ini, selanjutnya oleh panitera bakal dilaporkan kepada Ketua PN. Dan nantinya Ketua PN akan mengkoordinasikan kepada ketua Pengadilan Tinggi (KPT) Jatim," terang Ginting.
Kendati rakor sudah terlaksana, namun Ginting memastikan bahwa para pihak belum mendapatkan kepastian jadwal pelaksanaan eksekusi.
"Belum..belum dijadwalkan..guna menentukan hari H pelaksanaan eksekusi harus menunggu dan sesuai instruksi KPT," tambah Ginting.
Terpisah, Hanapie, kuasa hukum pendiri Sinode Gereja Bethany Indonesia, Leonard Limato selaku pemohon eksekusi juga membenarkan digelarnya rakor tersebut.
"Sudah (dilaksanakan) rakor dan baru saja selesai. Inti dari rakor adalah menyatakan kesiapan aparat sebagai upaya mendukung pelaksanaan eksekusi. Kita juga sudah paparkan perkembangan kondisi gereja Bethany saat ini," jelas Hanapie saat dikonfirmasi di PN Surabaya.
Dalam rapat, Hanapie juga menegaskan bahwa pekerja yang biasa bertugas di gereja Bethany tidak perlu khawatir dengan adanya eksekusi ini.
"Dari tukang kebun, pengurus hingga pendeta tidak perlu khawatir. Mereka bisa bekerja sesuai fungsinya seperti sedia kala. Yang tukang kebun tidak bakal dipecat, bagi para pendeta bisa tetap berkotbah bahkan bagi pengurus yang ingin tetap berkontribusi bagi gereja juga bisa tetap menjabat, tentunya dengan mekanisme yang telah ditetaokan oleh susunan pengurus yang baru. Eksekusi ini hanya sebatas administrasi susunan kepengurusan bukan fisik gereja," bebernya.
Ditambahkan Hanapie, pihaknya hanya ingin mengembalikan manajemen gereja sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sesuai pendirian awal yang diprakarsai oleh Leonard Limato. Ia juga menyatakan pihaknya berharap penentuan pelaksanaan eksekusi bisa didapatkan secepat mungkin, sesuai harapan jemaat yang juga ingin mendapatkan kepastian.
Eksekusi terhadap pengambil alihan kewenangan Majelis Pekerja Sinode (MPS) ini berdasarkan penetapan Ketua PN Surabaya bernomor 82/EKS/2016/PN.Sby jo Nomor 928/Pdt.G/2013/PN.Sby.
Sebenarnya eksekusi ini sudah dijadwalkan sejak 2017 lalu. Namun gagal dilaksanakan oleh juru sita PN Surabaya. Gagalnya eksekusi tersebut dikarenakan adanya perlawanan segelintir jemaat akibat kurangnya komunikasi yang dibangun kepada jemaat GBI Nginden terkait mekanisme eksekusi ini.
Pada 2017 lalu, jemaat beranggapan bahwa yang bakal dieksekusi adalah fisik gerejanya, padahal itu tidak benar, yang dieksekusi adalah kepengurusannya, dari pengurus lama diganti pengurus yang sah berdasarkan putusan pengadilan bernomor 928/Pdt.G/2013/PN.Sby.
Seiring berjalannya waktu, masih menurut Hanapie, akhirnya jemaat GBI Nginden memahami kondisi saat ini. Dan bisa dipastikan, tidak bakal ada lagi perlawanan yang akan dilakukan segelintir jemaat , pada pelaksanaan eksekusi nantinya, seperti yang terjadi pada pelaksanaan eksekusi tahun 2017 lalu.
"Waktu 2 tahun ini kita nilai sudah cukup memberikan penjelasan kepara jemaat. Bahkan mayoritas jemaat menunggu pelaksanaan eksekusi guna kepastian susunan kepengurusan ini," imbuhnya.
Untuk diketahui, polemik kepengurusan Majelis Pekerja Sinode GBI Nginden ini berawal dari adanya gugatan yang diajukan pendeta Leonard Limato terhadap pendeta Abraham Alex Tanuseputra, yang berujung perdamaian.
"Pada intinya isi perdamaian itu menyatakan bahwa membatalkan semua produk dari akte perubahan versi Abraham Alex, termasuk pengangkatan anaknya sendiri Aswin Tanu Seputro sebagai ketua Sinode," terang Hanapie.
Tambah Hanapie, Sinode GBI didirikan oleh pendeta Leonard Limato pada 2002. Setahun selanjutnya, 2003, pendeta Abraham Alex masuk kedalam kepengurusan Sinode, dan menjabat sebagai ketua masa pelayanan 2003 hingga 2007.
Berdasarkan anggaran dasar organisasi, setiap 4 tahun sekali, harus diadakan sidang raya guna menentukan kepengurusan Sinode yang baru.
"Namun, Abraham Alex mengangkat dirinya sebagai penguasa yang absolut, dan mengangkat anaknya sendiri Aswin Tanu Seputro sebagai ketua sinode dengan menganti akta pendirian versi Abraham Alex ke notaris, dan disebut sebagai akta perubahan. Lah akta perubahan itu melalui proses hukum di pengadilan (dading) akhirnya dinyatakan batal dan harus dieksekusi," tambahnya. (Ach/red)