Surabaya - Bergabungnya Demokrat ke kubu Koalisi Indonesia Maju, menurut pengamat Surabaya Survey Center Iksan Rosidi, adalah keputusan yang tepat untuk segera membuat langkah baru menghapus stigma yang kurang menguntungkan bagi partai berlambang segita mercy ini.
Menurut Iksan pilihan untuk bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) ini, sebelumnya tentu telah melalui perhitungan dan pertimbangan matang serta komunikasi intensif dengan partai-partai lain yang lebih dulu bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju.
Lantas kira-kira seberapa besar cost dan benefit elektoral bagi Demokrat sebagai partai yang terakhir masuk dalam gerbong koalisi. Iksan melihat banyak hal menarik dari menyatunya Demokrat dukung Prabowo sebagai capres.
"Pertama, bagi Demokrat, keputusan untuk segera bergabung dengan KIM ini merupakan keputusan politik yang cermat agar di mata publik partai ini tidak terlalu lama tersandera pada narasi kekecewaan dan pengkhianatan menyusul dinyatakannya Cak Imin sebagai bakal Cawapres Anies Baswedan, yang ini justru akan memantik dan mengakumulasi sentimen negatif bagi partai Demokrat dan pasti berdampak kurang baik bagi posisi elektoral partai," kata pengamat Senior SSC ini.
Tidak sekedar lepas dari kondisi kurang berpihak saat ditinggal oleh Anies, Keputusan bergabung dengan KIM kata Iksan juga merupakan keputusan yang paling logis dan memungkinkan, mengingat secara politik antara Partai Demokrat dengan Prabowo Subianto sejauh ini relatif tidak ada hambatan komunikasi politik yang signifikan, dibanding komunikasi dengan Megawati.
"Saya melihat dibandingkan komunikasi politik dengan Prabowo, komunikasi SBY dengan Megawati dianggap masih beku. Dan sejauh ini belum ada handicap politik menonjol yang mengganggu relasi politik antara Demokrat atau antara SBY dengan Prabowo Subianto. Bahkan Partai Demokrat adalah bagian dari perjalanan sejarah politik Prabowo saat menjadi Capres pada Pemilu 2019 yang lalu, dimana Partai Demokrat adalah juga menjadi salah satu partai pendukung Capres Prabowo Subianto," ungkapnya.
Selan itu hitungan cermat Ke-tiga bagi Demokrat adalah benefit politik yang mungkin diraih dengan bergabung dalam KIM, yaitu tetap terjaganya potensi dan kemungkinan untuk menjadi bagian dari kekuasaan pada pemerintahan baru setelah Pemilu 2024 nanti.
"Karena secara survey besarnya potensi elektabilitas Prabowo untuk memenangkan kontestasi Pilpres mendatang yang ditopang pula dengan kekuatan politik dari partai-partai pendukung yang tergabung dalam KIM saat ini. Ini juga membuka kemungkinan bagi Demokrat akan mendapatkan insentif elektoral atau coat-tail effect dari Capres Prabowo Subianto, disamping dari AHY yang elektabilitasnya juga relatif tinggi," tambahnya.
Dengan hitungan ini, tambahan elektoral ini sangat mungkin suara Demokrat akan meningkat pada Pemilu mendatang, sebab dalam banyak survei menyebutkan bahwa coat-tail effect calon presiden dan calon wakil presiden signifikan mempengaruhi perilaku pemilih untuk cenderung juga memilih partai pengusung capres/cawapres yang dia pilih. Hal ini selanjutnya secara langsung akan berdampak positif pada perolehan suara Demokrat.
Dari itung itungan kalkulasi politik, Iksan melihat pengaruh masuknya Demokrat ke KIM ini akan memiliki hubungan saling menguntungkan antara Demokrat dan Khofifah. Apa kolerasinya ?
"Peluang Khofifah Indar Parawansa untuk menjadi bakal Cawapres Prabowo Subianto berpotensi menguat seiring kehadiran Demokrat di KIM. Selama ini Khofifah secara politik dikenal memiliki hubungan khusus dengan SBY dan JK, yang merupakan tokoh-tokoh yang dominan mewarnai karir politik Khofifah. Dari mulai menjadi bagian dari kabinet pemerintahan SBY hingga kali terakhir saat Khofifah maju pada Pilgub jatim 2018 Khofifah juga diusung oleh Partai Demokrat dan Golkar. Dan saat ini dua tokoh ini berada di tubuh KIM, sehingga bukan tidak mungkin SBY maupun JK akan mendorong Khofifah yang memiliki keunggulan elektoral sebagai tokoh yang memiliki representasi Jawa Timur dan NU, untuk menjadi bakal cawapres Prabowo Subianto," ungkap Iksan .
Meski dinilai cermat dengan keputusan Demokrat mendukung Prabowo dalam pilpres 2024, Iksan juga mengingatkan akan adanya ongkos politik yang harus dibayar Demokrat.
"Persepsi publik bahwa KIM adalah koalisi yang mengusung narasi keberlanjutan atas kepemimpinan Presiden Jokowi, sementara Demokrat cenderung mengusung narasi perubahan, maka Demokrat tentu harus menyesuaikan narasi politik yang dibangun selama ini. Demokrat harus lebih fleksibel dalam mengemas narasi perubahan ini bahkan mungkin harus merubah kemasan menjadi narasi keberlanjutan, sebagai konsekuensinya," jelasnya.
Selain itu, lanjut Iksan tentu peluang bagi AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, untuk tetap running sebagai salah satu Cawapres dalam kontestasi Pilpres 2024 mendatang akan makin tipis.
"Tidak bisa dipungkiri di tubuh KIM saat ini telah ada nama-nama kuat lain juga santer disebut akan mendapingi Prabowo Subianto, sperti Erick Thohir, Khofifah, Airlangga Hartarto dan Ridwan Kamil. Sehingga peluang AHY sebagai bakal cawapres meskipun tetap ada, namun cenderung mengecil," kata Iksan.
Bagi Prabowo sendiri dengan koalisi yang gemuk ini, tentu akan berimbas pula pada potensi pendulangan suara yang lebih besar. Namun di sisi lain banyaknya anggota parpol yang bergabung dengan koalisi ini justru akan mendatangkan masalah yang tidak kalah rumit yakni semakin banyak kepentingan politik yang harus diakomodasi oleh Prabowo.
"Ini akan membuat proses konsolidasi, koordinasi dan proses penyesuaian diantara parpol anggota dan diantara tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya juga menjadi tidak sederhana. Sehingga kalau Prabowo Subianto tidak mengelolanya dengan baik bukan tidak mungkin potensi ini menjadi bumerang bagi upaya pemenangan Prabowo Subianto," pungkasnya. (Sal/red)