SURABAYA - Setelah tertunda dua kali, agenda sidang lanjutan perkara dugaan penipuan proyek pembangunan infrastruktur pertambangan yang melibatkan Christian Halim sebagai terdakwa, kembali digelar di ruang Candra Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (25/3/2021).
Sidang digelar dengan agenda mendengarkan keterangan dua saksi mantan karyawan terdakwa, Albert Sihotang dan Weinard Sigarlaki.
Dalam keterangannya, kedua saksi sempat menyebut nama Doni, yang tak lain adalah ayah terdakwa. Selaku Pengawas proyek, Albert mengaku dalam pengerjaan infrastruktur proyek tambang, tidak pernah dirinya diperlihatkan grand design oleh terdakwa.
"Apakah sebelumnya ada blue screen atau gambar desain yang diperlihatkan kepada saudara oleh terdakwa?," tanya jaksa Novan B Arianto dari Kejati Jatim kepada saksi Albert.
Albert menjawab hal itu tidak ia pernah tahu, pengerjaan infrastuktur hanya mengikuti sesuai arahan dari Doni, ayah terdakwa yang kebetulan duduk sebagai Direktur Operasional PT PT Multi Prosper Mineral (MPM).
"Bahkan tukang saja yang menyediakan dari Doni. Karyawan PT MPM setahu saya hanya 2 orang yang kerap saya lihat di lapangan," jawab saksi.
Terkait kualitas infrastruktur, saksi menilai bahwa mess yang dibangun belum layak ditempati oleh pekerja. "Baik itu dari ventilasi maupun lainnya," ujarnya.
Disamping itu, saksi juga menyebut ada pelanggaran dalam proyek yang dikerjakan terdakwa, terkait keselamatan kerja maupun lainnya. Salah satunya, Alat Pelindung Diri (APD) yang sifatnya wajib dipergunakan oleh para pekerja, kuantitas kurang, sehingga ada yang harus terpaksa tidak memakai APD.
Menurut saksi, hal itu sudah ia sampaikan kepada terdakwa secara tertulis maupun lisan, namun tidak ada tanggapan dan dijawab seenaknya. "Udah kerja saja tidak usah dipikirin," jawab terdakwa yang ditirukan saksi Albert.
Saksi memilih resign dari PT MPM pada Pebruari 2020. "Desk job saya tidak jelas pak hakim, saya harus membantu pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh pekerja harian lepas. Seperti mencangkul dan pekerjaaan keras lainnya, saya kerja mulai jam 7 pagi hingga 11 malam,' ungkap saksi.
Saat dikonfrontasi, terdakwa mengakui tidak ada kepastian soal status karyawan yang disandang saksi.
"Karena masa percobaan, dan soal komplain APD, itu bukan komplain namun sebatas laporan," ujar terdakwa.
Begitupun dengan saksi Weinard Sigarlaki, selaku pelaksana proyek infrastruktur. Ia mengatakan ia juga memilih resign dari ajakan terdakwa karena menilai manajemen perusahaan yang diterapkan kurang bagus. "Tidak ada kecocokan. Tidak ada desk job jelas, meskipun sebelumnya ada pembagian tugas," ujarnya.
Tidak ada grand design dalam pengerjaan proyek, acuannya agar cepat selesai dan mengikuti sesuai dengan kondisi medan.
"Khusus untuk mess ada sket gambarnya, hal ini untuk rencana anggaran bahan saja. Soal Jetty dan jalan tidak ada gambar perencanaan, meskipun sebelum melakukan pekerjaan dilakuan survey," tambahnya.
Saat ia memilih resign pada Desember 2019, saksi mengatakan saat itu Jetty masih bentuk letter 'I'. "Yang seharusnya berbentuk lettr T. Sempat juga mess mengalami perubahan ukuran, dari ukuran 7 x 14 M, diubah menjadi 7 x 12 M berdasarkan arahan Doni, sedangkan saya sendiri tidak paham posisi Doninpada PT MPM," terang saksi.
Terkait hasil appraisal, saksi mengaku pernah dipertemukan dengan ahli Mudji dari ITS.
Sidang dilanjutkan Senin (29/3/2021) pekan depan dengan agenda mendengarkan pendapat ahli yang dihadirkan pihak jaksa.
"Terkait permintaan tim penasehat hukum terdakwa untuk kembali menghadirkan saksi Gentha, menurut kami keterangannya sudah cukup diperdengarkan pada sidang sebelumnya. Namun tetap akan kami coba panggil kembali majelis," ujar jaksa menjelang sidang ditutup.
Terpisah, Alvin Lim, penasehat hukum terdakwa usai sidang mengatakan bahwa belum beresnya pengerjaan proyek infrastruktur dikarenakan adanya penghentian yang dilakukan oleh antar pihak.
"Ibarat kita mengerjakan gedung 20 lantai, lalu kerjasama dihentikan pada saat pengerjaan lantai 15, bagaimana selesai?," ujarnya. (Red)