Surabaya - DPW NasDem Jawa Timur menerima kedatangan nelayan daerah, serta memberikan fasilitas kepada mereka untuk menyampaikan aspirasinya hingga ke pusat.
Ada 33 nelayan dari berbagai kabupaten/kota, berangkat bersama fraksi NasDem provinsi menuju Jakarta, untuk menghadiri kegiatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR RI.
Namun, sebelum acara pelepasan dari Kantor DPW NasDem Jatim, mereka juga melakukan penyampaian pendapat serta pembahasan bersama para fraksi NasDem provinsi dan pengurus DPW lebih dulu.
Pada kesempatan yang sama, Ketua DPW NasDem Jatim, Sri Sajekti Sudjunadi menjelaskan, bahwa pemberangkatan para nelayan ini bermula dari nelayan Pamekasan yang melakukan aksi demo besar-besaran di gedung DPRD beberapa waktu lalu.
"Saat itu mereka menuntut PP No 85, tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementrian kelautan dan perikanan. PP itu memberatkan mereka," kata perempuan yang akrab dipanggil Jannete, Senin, (25/10).
Nah, dari aksi yang dilakukan nelayan, ternyata direspon oleh anggota dewan NasDem Pamekasan, hingga kemudian aspirasi itu dibawa ke DPW untuk dilakukan pembahasan mengenai solusi para nelayan.
"Waktu itu kita memang punya dua opsi. Opsi pertama yaitu fraksi kita meneruskan aspirasi mereka ke pusat tanpa melibatkan nelayan. Opsi kedua yaitu, meneruskan asprasi dengan memfasilitasi mereka untuk berangkat ke Jakarta. Akhirnya, opsi kedua yang kita pilih," ujar Jeanette.
Alasan dipilihnya opsi kedua adalah, bentuk sikap DPW NasDem Jatim untuk turut mengawal aspirasi mereka, dan memastikan nelayan tidak dibiarkan berjuang sendirian.
Di Jakarta nantinya, masih kata Jeanette, para nelayan bersama fraksi NasDem provinsi akan bertemu dengan ketua fraksi dan pimpinan Fraksi NasDem pusat di Jakarta, guna menyampaikan pendapat, yakni agar PP no 85 tahun 2021 dicabut.
"Jadi di PP tersebut, ada beberapa poin, yang diantaranya mengatur bahwa mereka dikenakan beban pajak. Sementara di PP sebelumnya, seperti PP no 75 tahun 2015, kapal nelayan yang memiliki kapasitas 5 GT (gross ton) sampai 29 GT, itu tidak dikenakan pajak. Ini yang membuat mereka begitu berat," sambungnya.
Sepaham dengan para nelayan, NasDem menilai jika lahirnya PP no 85 tahun 2021 memang tidak bisa diterapkan, terlebih saat ini adalah masa pemulihan ekonomi pasca diterjang badai pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.
"Berbagai bantuan sosial kemarin diturunkan untuk masyakat, seperti BLT, bantuan non tunai dan sebagainya. Artinya, disaat masyarakat membutuhkan keringanan dan bantuan, kok malah lahir aturan yang membebani masyakarat. Harusnya aturan itu ditinjau ulang sebelum diterapkan. Nelayan ini harus kita selamatkan," sambung anggota DPRD Provinsi Jatim dari Partai NasDem, Suyatni Priasmoro.
Adapun 33 nelayan yang berangkat ke Jakarta, mereka mewakili nelayan dari Pamekasan, Pacitan, Trenggalek, Jember Lamongan, Gresik, Situbondo, Malang dan Surabaya. Kendatipun semua nelayan itu berasal dari Jawa Timur, diharapkan hasilnya bisa menjadi angin segar bagi seluruh nelayan di nusantara.
Sementara langkah yang dilakukan NasDem Jatim ini mendapat apresiasi positif dari para nelayan. Di luar dugaan, mereka akan mendapatkan waktu dan fasilitas untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung dengan anggota serta pimpinan Fraksi NasDem di Jakarta.
"Ini momen yang bagus. Kami hanya ingin PP no 85 itu dicabut. Sebab kondisi nelayan saat ini begitu riskan," kata Wadan, nelayan asal Pamekasan.
Wadan merincikan, pada PP no 85 tahun 2021 yang telah disahkan pada 19 Agustus lalu, kapal berukuran 5 GT ke atas sudah dikenakan beban PNBP senilai Rp 268.000 per GT. Sementara untuk Pungutan Hasil Penangkapan (PHP) dikenakan biaya 5 persen. Kemudian ada biaya pra produksi, sepeti alat jaring tarik berkantong, yang dikenakan Rp 1.250.000 per GT.
"Kapal saya itu ukuran 30 GT. Kalau dihitung semuanya berdasarkan aturan PP no 85, setiap tahunya saya harus bayar negara senilai 60 juta rupiah. Itu belum termasuk biaya kelayakan dan surat surat. Kalau mengacu pada aturan PP no 75, biayanya masih dibilang wajar. Hanya dua juta per tahun," terang Wadan.
Hal yang sama dikatakan nelayan perwakilan asal Jember, Aska. Menurutnya, kondisi nelayan terakhir ini memang tidak menentu, apalagi ditambah dengan faktor anomali cuaca. Dalam dua tahun terakhir, hasil tangkapan ikan tidak bisa maksimal.
"Sementara, nilai penjualan juga tidak sebanding dengan jerih payah kita waktu melaut. Kalau dibebankan lagi dengan aturan PP no 85, kita akan hancur. Mudah-mudahan perjuangan ini menemui hasil yang bagus," ungkapnya.
Dalam Peraturan pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan, pemerintah terkesan tak memiliki keperpihakan untuk melindungi dan menjaga eksistensi dan keberlangsungan hidup nelayan kecil. Terutama pada kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang di bawah ukuran 30 GT.
Pada Pasal 2 angka (4) dan lampiran PP yang baru ini sangat terang ada penarikan pra produksi dan pasca produksi.
Pertama, kapal penangkap ikan berukuran 5 GT sd 60 GT per tahun dikenakan tarif 5 persen x produkvitas kapal x HPI x GT kapal.
Kedua, kapal penangkap ikan berukuran di atas 60 GT sd 1000 GT per tahun dikenakan tarif 10 persen x produkvitas kapal x HPI x GT kapal.
Ketiga, kapal penangkap ikan berukuran di atas 1000 GT per tahun dikenakan tarif 25 persen x produkvitas kapal x HPI x GT kapal.
Ketentuan pra produksi di atas juga diikuti dengan penarikan pasca produksi berikut ini:
Pertama, kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 60 GT per kg dikenakan tarif 5 persen x nilai produksi ikan pada saat didaratkan.
Kedua, kapal penangkap ikan berukuran di atas 60 GT per kg dikenakan tarif 10 persen x nilai produksi ikan pada saat didaratkan. (Sal/red)