Surabaya - Somo, seorang petani sederhana yang tengah berjuang atas tanahnya yang hilang dimakan lapangan golf yang dikelola PT Artisan Surya Kreasi, terpaksa datang ke Polda Jawa Timur untuk memenuhi Panggilan. Somo dituduh memalsukan. Apa yang dipalsukan dan siapa sebenarnya yang melaporkan tuduhan itu? Wallahualam.
Sementara, Somo sebenarnya tengah menempuh upaya hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya, satu hari sebelum dirinya menghadap penyidik Polda Jawa Timur, yakni pada Selasa, 6 Okober 2020. Mau berapa upaya hukum lagi yang harus dihadapi Somo? Akan seberapa panjang lagikah jalan keadilan ini harus dilaluinya?
Jika kita sempatkan untuk menelusuri informasi di google, katakanlah, maka perjuangan atas hak tanah petani tidak jarang dibuat nyangkut oleh upaya-upaya pemidanaan yang dirundungkan atasnya. Namun, mengingat sangkutan ini toh terjadi juga terhadap Somo, pada tahun 2020 ini, tidakkah ini bertentangan dengan amanat Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang ingin kedaulatan pangan dan petani diperjuangkan. Program Cetak Sawah atau juga Food Estate yang diinisiasi sebagai program nasional toh mengindikasikan bahwa tanah untuk pangan itu bernilai esensial.
Di Pengadilan Tata Usaha Negara, bukti-bukti penguasaan tanah dan kepemilikan tanah telah diberikan Somo, untuk diperiksa bersama-sama, oleh Tergugat (Kantor Pertanahan Surabaya I) dan Tergugat Intervensi (PT Artisan Surya Kreasi). Pada medium itu, semua pihak bisa memverifikasi dokumen buktibukti tersebut, sehingga kegemaran untuk menggunakan Hukum Pidana harusnya bisa ditunda.
Sementara kesempatan itu tidak dimanfaatkan oleh Tergugat di persidangan tata usaha negara, yang mana alih-alih memverifikasi bukti dari Somo selaku Penggugat, Tergugat malah hadir ke persidangan dengan waktu yang terlambat sekali, serta justru menikmati fait accompli Penggugat dan Tergugat Intervensi.
Terkait hal itu, Immanuel Sembiring, selaku Kuasa Hukum Somo, mengatakan bahwa tidak pada tempatnya dalil-dalil Somo disengketakan secara pidana, sementara ruang berupa pengadilan tata usaha negara yang membuka kesempatan itu bagi pihak Tergugat dan Tergugat Intervensi nyata-nyata belum digunakan dengan optimal. Hukum Pidana itu obat terakhir. Kami, selaku Kuasa Hukum, berpegang pada asas hukum. Maka, gunakanlah ruang pengadilan tata usaha negara itu. Pertanyakan dalil-dalil klien kami, jika memang ada keraguan, ujarnya.
Pada proses persidangan, Tergugat juga terang menciderai prinsip gelijk behandeling atau penyikapan yang sama atas jalannya persidangan. Tampak benar, bahwa Tergugat tidak kunjung mengindahkan perintah pengadilan untuk membawa warkah tanah atas bidang yang diklaim oleh Tergugat Intervensi, sementara di tangan yang lain, Penggugat telah menyerahkan bukti-bukti yang relevan.
Untuk itu, penting sekali kami tekankan, pada gugatan kami, kami tidak ke sana kemari, mempertanyakan hak tanah pihak siapapun. Kami sebatas memperjuangkan agar tanah klien kami yang telah melalui proses pendaftaran tanah sebagaimana hukum negara ini memerintahkan setiap warga-negara yang hendak mensertifikatkan tanahnya agar dapat disertifikatkan. Gambar Ukurnya sudah keluar lho. Gambar Ukur itu sudah setengah jalan lah kurang lebih, tambah Immanuel.
Selain itu, penting untuk disampaikan, bahwa konsep pemolisian (policing) di banyak negara telah berkembang maju. Bahwa fungsi pemolisian tidak semata-mata menjadi subsistem dari hukum pidana, tetapi kini berkembang hingga mencakup fungsi mediatif. Hal ini dikenal dengan konsep restorative policing, yang secara sederhana dapat dipahami sebagai fungsi polisi berada di tengah dalam perkaraperkara yang dapat diselesaikan tanpa masuk ke proses hukum.
Di Belanda, polisi di sana menjalankan fungsi semacam itu. Itu mengapa perkara yang masuk ke pengadilan tidak banyak, dan sukses menekan kepadatan lembaga permasyarakatan. Tim Kuasa Hukum Somo berkeyakinan, Polri sudah mencanangkan hal-hal serupa restorative policing. Sebagaimana diketahui, Bareskrim pernah mengeluarkan Peraturan Kabareskrim tentang restorative justice.
Dengan demikian, untuk menutup, selaku Tim Kuasa Hukum Petani Somo, terang menggarisbawahi bahwa pada prinsipnya tidak ada orang yang ingin tanahnya hilang begitu saja. Kasus ini pun demikian. Namun, pada prinsipnya tentu penyelesaian yang terbaik atau dalam bahasa hukumnya amicable settlement yang dituju. Oleh karenanya, tundalah kegemaran pidana-mempidana, dan jalankan proses hukum sipil. Karena di zaman kemajuan seperti ini, toh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, saja sudah terang memandang tanah untuk pangan adalah krusial adanya. (Red)