Oleh: M. Eri Irawan, Ketua Bidang Kaderisai dan Idologi Banteng Muda Indonesia
Surabaya - Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin. ~ Bung Karno.
Berada di tengah lautan manusia pada puncak peringatan Bulan Bung Karno di Gelora Bung Karno (GBK), Sabtu (24/6/2023), bukan hanya membikin saya merinding, tapi juga menyembulkan sebuah kesadaran baru: betapa energi Bung Karno masih hidup dan menginspirasi banyak orang—dan karena itu, kita boleh banyak berharap tentang masa depan negeri ini.
Ketika elite politik lain menggaungkan permusuhan dan bahkan hoaks ketika berpidato, atau sekadar jargon, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ibu Megawati Soekarnoputri memilih jalan lain: dia mengirimkan pesan tentang betapa hidup harus bermanfaat untuk orang lain, khususnya mereka yang papa—sebuah pesan universal bukan hanya bagi kader PDI Perjuangan, tetapi juga publik seluas-luasnya.
Bu Mega menekankan pentingnya memberikan perhatian kepada masyarakat “akar rumput”. “Akar rumput” atau grass root adalah kosakata dalam khazanah politik yang paling akrab di telinga dan mudah diucapkan oleh para politisi, terutama pada masa Pemilu. Akar rumput adalah sebutan untuk kelompok masyarakat terbawah dalam klasifikasi sosial masyarakat Indonesia.
Tetapi Bu Mega tak hendak sekadar memainkan jargon. Presiden ke-5 RI itu menginstruksikan seluruh jajaran partai untuk turun ke bawah, instruksi yang terus dimonitor untuk memastikan seluruh kader berdisiplin. Di kalangan aktivis politik, bila mereka obyektif, semuanya mengakui bahwa mesin PDI Perjuangan adalah salah satu yang paling efektif dalam mengonsolidasikan kekuatan akar rumput. Maka kita bisa pada kesimpulan: di tangan Bu Mega, politik bukan hanya kegiatan formal penuh basa-basi dan seremonial yang kaku dan penuh retorika.
Bu Mega mencontohkan bagaimana ayahandanya, Bung Karno, berpolitik. “Di tangan Bung Karno, politik bergerak ke bawah. Ingat ke bawah, ke siapa? Ke akar rumput. Rakyat itu akar rumput. Karena ini ada rumputnya ditutupi (menunjuk lapangan GBK). Kalau dibuka, dia cepat bertumbuh kembali. Jadi rakyat itu, akar rumput itu, tidak bisa dipunahkan,” katanya.
Di tangan Bung Karno dan Bu Mega, politik memang memiliki daya dobrak dan energi untuk terus bergerak demi kemaslahatan rakyat. “Keberpihakan harus selalu ada pada akar rumput, karena dalam gubuk rakyat miksin, energi perjuangan kepartaian berasal dan Tuhan bersemayam di gubuk rakyat-rakyat miskin,” kata Megawati.
PDI Perjuangan selalu menumpahkan energi politiknya ke akar rumput, dan tak lagi berkutat pada isu-isu politik yang dangkal dan hanya menyentuh kepentingan pribadi atau vested interest. Misalnya dalam Rapat Kerja Nasional III pada 6 Juni 2023, partai ini mengangkat kembali perintah konstitusi, yaiu fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara.
Bu Mega telah melewati begitu banyak fase bersejarah dalam kehidupan politik di Tanah Air. Perjalanan yang meneguhkan keyakinannya bak karang yang tak mempan disapu ombak: bahwa keberpihakan terhadap akar rumput adalah identitas PDI Perjuangan. Kader PDI Perjuangan tidak boleh malu dan segan untuk mengekspresikan semangat Marhaenisme secara bergotong royong. Solidaritas harus dibangun, karena hanya dengan cara itulah kepedulian sosial terhadap masyarakat kelas bawah tumbuh.
Para kader PDI Perjuangan harus mau turun ke tengah-tengah masyarakat bawah untuk merangkul mereka dan memberikan harapan. Dengan turun ke bawah, mereka bisa mengetahui kondisi sesungguhnya, sebagaimana dulu dilakukan Bung Karno di Bandung saat bertemu petani bernama Marhaen.
Perhatian terhadap fakir miskin dan anak telantar adalah praksis ideologi Pancasila yang harus dijalankan secara utuh. “Mari kita bergerak bersama, denga gotong-royong menyisir ke kampung, kolong jembatan, mencari anak-anak tak berpunya yang jadi yatim piatu,” kata Megawati.
“Siaapp?” tanya Bu Mega kepada lautan manusia yang memerahkan GBK, stadion bersejarah yang dibangun oleh Bung Karno.
Lautan manusia itu pun menjawab dengan suara yang menggema di GBK, “Siaappp!”
Siapa pun yang hadir di GBK siang itu pasti merasakan getar jiwa yang mendalam. Yang memekikkan “siap” bukan cuma mulut. Yang menggaungkan “siap” bukan hanya bibir. Tetapi jiwa yang penuh-seluruh.
Kini, sepulang dari GBK, kita merasa bukan serak tenggorokan yang tersisa—karena ekspresi yang luar biasa; tapi kenangan mendalam pada konsolidasi raksasa. Juga semangat yang berlipat ganda untuk segera bekerja: kembali ke basis, kembali ke akar rumput.
Dari gelombang manusia yang kembali pulang ke tempat masing-masing dari GBK, ke Aceh hingga Papua, di tiap-tiap benaknya akan selalu terngiang “Dedication of Life” Bung Karno yang dibacakan Ganjar Pranowo siang itu:
“Saya adalah manusia biasa. Saya dus tidak sempurna. Sebagai manusia biasa, saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Hanya kebahagiaanku adalah mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada bangsa. Itulah dedication of life-ku.” (*)